Jumat, 28 Desember 2012

Kasus Bakrie Life dan Inovasi Produk Asuransi Hibrida

Perusahaan industri jasa keuangan di Indonesia, termasuk perusahaan asuransi, saat ini mulai banyak yang melakukan terobosan pemasaran dengan menciptakan produk hibrida atau produk campuran, misalnya produk perbankan (deposito) digabung dengan produk asuransi jiwa. Produk hibrida ini diharapkan dapat mendatangkan manfaat ganda bagi nasabah yaitu mendapatkan bunga deposito sekaligus proteksi asuransi jiwa.
Perbankan di Indonesia memang belum ada yang menjadi universal banking di mana produk-produknya merupakan produk hibrida antara produk bank dan lembaga keuangan lain. Bank di Indonesia mayoritas masih berupa bank komersial (commercial banking) dan jika pun terdapat produk hibrida, jumlahnya masih sedikit dibandingkan dana di sektor perbankan. Sementara universal banking, yang banyak terdapat di Eropa dan juga di Jepang, membolehkan bank melakukan kegiatan usaha keuangan non-bank seperti investment banking dan asuransi. (Wulan Tunjung Palupi, 2009).
Di samping munculnya fenomena produk hibrida di sektor jasa keuangan, saat ini juga banyak dijumpai pola keterkaitan antar lembaga keuangan dalam bentuk kerjasama pemasaran produk keuangan. Produk investasi reksadana dan obligasi, selain ditawarkan di pasar modal, juga ditawarkan melalui perbankan. Dalam kasus semacam ini, perbankan hanya berperan sebagai agen penjual yang tidak ikut menanggung risiko kerugian. Pola kerjasama semacam ini tetap membutuhkan pengawasan agar tidak terjadi penyelewengan seperti pada kasus Bank Century dan Antaboga Sekuritas. Koordinasi pengawasan yang baik antara Bank Indonesia dengan Bapepam-LK sangat dibutuhkan untuk tetap menjaga kepercayaan masyarakat terhadap produk jasa keuangan. Kecenderungan munculnya produk hibrida dan semangat kerjasama di antara perusahaan jasa keuangan tampaknya akan semakin meningkat di masa mendatang, sehingga hal tersebut memunculkan wacana tentang perlunya membentuk lembaga pengawas sektor keuangan yang bersifat superbody, independen, dan terintegrasi.
Kecenderungan munculnya produk hibrida di sektor jasa keuangan di Indonesia sebenarnya lebih banyak mengikuti tren yang ada di negara maju. Fenomena semacam ini dapat berdampak positif atau negatif tergantung cara kita menyikapinya. Penerbitan produk hibrida di sektor jasa keuangan, jika dikelola dengan baik dan benar, dapat meningkatkan gairah dan partisipasi masyarakat secara signifikan untuk membeli produk-produk jasa keuangan. Di lain pihak, jika tidak diiringi dengan pengawasan yang memadai, akan dapat memunculkan dampak negatif seperti yang terjadi dalam kasus Bank Century dan Antaboga Sekuritas, serta kasus gagal bayar yang menimpa PT Asuransi Jiwa Bakrie atau yang dikenal sebagai Kasus Bakrie Life.
Kasus Bakrie Life bermula dari penjualan produk asuransi unit-link Diamond Investa yang merupakan produk hibrida antara asuransi jiwa dengan investasi pasar modal (umumnya reksadana). Banyak nasabah yang tergiur dengan tawaran ini karena produk Diamond Investa menawarkan imbal hasil 1,5 persen di atas bunga deposito per tahun plus manfaat proteksi asuransi jiwa. Sayang pemasaran produk asuransi unit-link ini kemudian bermasalah karena PT Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life) diduga gagal membayar imbal hasil beserta pokok dana nasabah dengan nilai total mendekati Rp 400 miliar. Hal tersebut ditengarai disebabkan adanya penyelewengan penempatan portofolio yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Bakrie Life dianggap melampaui batas dalam berinvestasi karena terlalu banyak menempatkan portofolio reksadana pada saham-saham perusahaan grup Bakrie, sehingga ketika harga saham perusahaan grup Bakrie berjatuhan akibat krisis global 2008 maka nilai portofolio Bakrie Life pun ikut terhempas. (Harian Sinar Harapan, 17 September 2009).
  • KETIADAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DANA NASABAH ASURANSI
Kasus Bakrie Life lebih sulit diselesaikan karena hingga kini belum ada perlindungan hukum terhadap dana nasabah asuransi. Nasabah asuransi sebagai pihak konsumen selama ini hanya dilindungi oleh UU Perlindungan Konsumen (UU 8/ 1999). Namun demikian, UU Perlindungan Konsumen tidak mengatur mekanisme penjaminan dan pengembalian dana nasabah jika terjadi kasus perusahaan asuransi bermasalah. Di samping itu, UU Perlindungan Konsumen lebih banyak berfokus pada pengaturan dan perlindungan hak-hak konsumen dan terlaksananya kewajiban produsen secara umum. Padahal, yang lebih dibutuhkan oleh nasabah asuransi adalah kepastian pengembalian dana mereka jika terjadi kasus kegagalan usaha yang menimpa perusahaan asuransi.
Pengamat ekonomi Yanuar Rizky, sebagaimana dikutip Harian Sinar Harapan (17 September 2009) mengatakan bahwa permasalahan konflik antara nasabah dengan Bakrie Life tidak bisa dilepaskan dari pengawasan Bapepam-LK yang lemah dan tidak serius. Bapepam-LK terkesan hanya cuci tangan sehingga melihat masalah ini hanya sebatas permasalahan kontrak pengelolaan dana antara nasabah yang dirugikan dengan Bakrie Life. Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK, Isa Rachmatarwata, sebagaimana dikutip Harian Bisnis Indonesia (17 September 2009) juga meminta para nasabah yang dirugikan Bakrie Life untuk menyelesaikan persoalan tersebut berdasarkan kontrak yang berlaku, sebab dalam setiap kontrak asuransi biasanya disebutkan tentang bagaimana cara penyelesaian masalah jika terjadi sengketa. Isa Rachmatarwata juga menegaskan agar para nasabah harus siap menempuh cara penyelesaian sengketa sesuai dengan polis, sebab jika pihak regulator ikut mengintervensi malah tidak sesuai dengan kontrak.
Direktur eksekutif AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia), Stephen Juwono, sebagaimana dikutip Harian Bisnis Indonesia (17 September 2009) mengatakan bahwa kasus Bakrie Life merupakan masalah internal antara Bakrie Life dengan para nasabahnya. Jika nasabah mengetahui adanya penyimpangan investasi, maka mereka dapat membawa masalah tersebut ke jalur hukum. AAJI hanya berwenang memberi sanksi kepada para agen pemasaran produk asuransi yang dianggap menyimpang yaitu agen yang tidak terdaftar dan tidak punya lisensi.
Pernyataan pejabat Bapepam-LK dan pengurus AAJI tersebut di atas, walaupun secara normatif terasa logis, tetapi secara faktual cenderung merugikan pihak nasabah asuransi. Proses penyelesaian sengketa melalui jalur Arbitrase lebih sesuai diterapkan bagi pihak tertanggung yang bermodal besar, sedangkan penyelesaian melalui jalur Mediasi, misalnya melalui Badan Mediasi Asuransi Indonesia, juga tidak dapat menjamin pengembalian dana nasabah secara utuh. Di samping itu cara Arbitrase dan Mediasi lebih cocok diterapkan untuk kasus-kasus sengketa keperdataan yang hanya melibatkan dua pihak atau sedikit pihak. Kasus Bakrie Life yang melibatkan ratusan nasabah lebih sulit diselesaikan melalui jalur Mediasi atau Abitrase karena kedudukan para nasabah cenderung lemah sehingga perlu perlindungan hukum dari Negara.
Proses penyelesaian sengketa melalui jalur hukum via Pengadilan Negeri juga sangat memberatkan nasabah karena proses peradilan di Indonesia umumnya masih cenderung lebih berpihak kepada pemilik modal besar, prosesnya berbelit-belit, lama, tidak ada jaminan menang, dan kalau toh menang seringkali eksekusi putusannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penyelesaian kasus Bakrie Life seharusnya lebih difokuskan pada upaya pengembalian dana milik nasabah, sedangkan proses hukumnya menjadi domain tugas Bapepam-LK. Jika dalam proses penyelidikan dan penyidikan Bapepam-LK menemukan indikasi tindak pidana, maka Bapepam-LK harus segera meneruskan kasus tersebut ke Kepolisian. Jika yang ditemukan hanyalah pelanggaran administratif, maka Bapepam-LK tidak perlu lapor ke Kepolisian tetapi cukup memberi sanksi administratif sesuai ketentuan yang berlaku. Sanksi administratif terberat tentu saja adalah penutupan perusahaan melalui pencabutan ijin perusahaan.
Nasib nasabah bank jauh lebih baik dibandingkan nasib nasabah asuransi karena di perbankan sudah ada program penjaminan dana nasabah penyimpan melalui LPS (Lembaga Penjaminan Simpanan) berdasarkan UU 24/ 2004. Bapepam-LK, menurut berita Koran Jakarta (21 September 2009) saat ini juga sedang merancang pembentukan lembaga penjaminan dana investor di pasar modal atau IPF (Investor Protection Fund) yang ditargetkan sudah terbentuk pada kuartal ke-2 tahun 2010. Dalam kajian pembentukan IPF disebutkan bahwa sumber pendanaan IPF berasal dari kontribusi investor melalui biaya transaksi investor (levy), perusahaan efek, self regulatory organization (SRO), dan Pemerintah. Pemerintah diharapkan ikut memberikan kontribusi karena selama ini investor di pasar modal juga memberikan kontribusi bagi pemasukan negara lewat pajak. Setiap transaksi saham di pasar modal akan dikenakan pajak 0,1 persen dari total nilai transaksi.
Program penjaminan harus diarahkan guna melindungi dana nasabah asuransi agar tingkat kepercayaan masyarakat tetap tinggi. Lembaga penjaminan dana nasabah asuransi, sebagaimana LPS, juga harus diberi peran sebagai lembaga penyelamat dan/atau likuidator perusahaan asuransi bermasalah. Dengan tambahan peran sebagai penyelamat dan likuidator tersebut, maka lembaga penjaminan ini dapat lebih mudah memberi kepastian pengembalian dana nasabah asuransi. Pendanaan lembaga penjaminan ini dapat berasal dari sumbangan Pemerintah, serta premi yang dikutip dari perusahaan asuransi dan nasabah asuransi. Mekanisme kerja lembaga ini mirip dengan perusahaan re-asuransi. Bedanya, kalau perusahaan re-asuransi berfungsi melindungi perusahaan asuransi, maka lembaga penjaminan berfungsi melindungi nasabah asuransi.
Kasus Bakrie Life mirip dengan praktek pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) di perbankan. Bedanya, pelanggaran BMPK diatur jelas dalam UU Perbankan (UU 7/ 1992 juncto UU 10/ 1998), sedangkan pelanggaran sejenis belum diatur dalam UU 2/ 1992 tentang Usaha Perasuransian. Banyaknya bank yang melanggar BMPK menjadi salah satu pemicu krisis ekonomi dan perbankan 1997/1998. Kasus Bakrie Life jika tidak diselesaikan dengan baik kemungkinan besar akan berdampak negatif terhadap citra industri asuransi di mata masyarakat. Masyarakat sebagai calon nasabah asuransi akan khawatir membeli produk asuransi, khususnya asuransi unit-link. Padahal, industri jasa asuransi sebagaimana industri jasa keuangan lainnya, sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat, karena industri jasa ini hidup dari usaha penghimpunan dan penyaluran dana-dana milik masyarakat.
  • KELEMAHAN DAN PENGAWASAN SERTA PENINDAKAN OLEH BAPEPAM -LK
Mencuatnya kasus gagal bayar nasabah Bakrie Life, menurut Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK, disebabkan oleh gabungan berbagai faktor seperti ketidakcermatan manajemen, kemungkinan terjadinya praktek pelanggaran usaha, kondisi ekonomi, dan penanganan saat krisis yang tidak tepat. Jika Bapepam-LK memang mengetahui penyebab kasus Bakrie Life, maka timbul pertanyaan mengapa Bapepam-LK selaku regulator dan pengawas tidak berhasil mencegah munculnya kasus Bakrie Life. Bahkan, ketika kasus Bakrie Life benar-benar muncul ke permukaan, Bapepam-LK terkesan hanya mau menyerahkan penyelesaian kasus tersebut kepada Bakrie Life dan para nasabahnya. Para nasabah diminta menyelesaikan permasalahan sesuai polis, dan bila menemukan indikasi tindak pidana para nasabah disarankan melapor ke Kepolisian.
Kasus Bakrie Life, dan juga kasus Antaboga Sekuritas, adalah contoh betapa lemahnya aspek pengawasan dan penindakan yang seharusnya dilakukan Bapepam-LK. Sebagai otoritas pasar modal dan lembaga keuangan non-bank, Bapepam-LK berfungsi sebagai regulator dan pengawas yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Pemeriksaan atau penyelidikan oleh Bapepam diatur dalam Pasal 100, sedangkan wewenang penyidikan diatur dalam Pasal 101 UU 8/ 1995 tentang Pasar Modal. Pasal 101 Ayat (2) UU 8/ 1995 menyatakan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Bapepam diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pasar Modal berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Namun demikian, aturan UU 8/ 1995 ini mengandung kelemahan karena tidak mencantumkan wewenang Bapepam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap lembaga keuangan non-bank selain pasar modal.
Keberadaan Penyidik PNS disamping Penyidik Kepolisian telah diatur dalam UU 8/ 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 1, dan Pasal 6 Ayat (1) yang menyatakan bahwa Penyidik dapat berasal dari pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan yang dimaksud dengan kegiatan “Penyidikan”, sesuai Pasal 1 angka 2 UU 8/ 1981, adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan menemukan tersangkanya.
Pasal 7 Ayat (2) UU 8/ 1981 menyatakan bahwa Penyidik PNS mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing, dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Kepolisian. Berdasarkan ketentuan ini, maka Penyidik PNS yang telah menemukan bukti awal adanya tindak pidana tertentu, harus segera melimpahkan kasus tersebut kepada Penyidik Kepolisian. Penyidik Kepolisian selanjutnya memproses lebih lanjut kasus tersebut dan kemudian melimpahkannya kepada Kejaksaan selaku Penuntut Umum.
Berdasarkan fakta yuridis tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penanganan kasus Bakrie Life, Bapepam-LK terbukti belum bekerja secara maksimal karena tidak melaksanakan penyidikan dengan benar. Jika tugas penyidikan tersebut dilakukan dengan benar dan berhasil menemukan indikasi pelanggaran pidana, maka Bapepam-LK seharusnya wajib meneruskan kasus tersebut ke Kepolisian dan bukannya malah menyerahkan tugas tersebut kepada para nasabah Bakrie Life. Hal serupa juga terjadi dalam kasus Bank Century dimana Bank Indonesia tidak berani melakukan penindakan terhadap pemilik Bank Century yang terbukti melakukan pelanggaran pidana berupa penerbitan L/C fiktif senilai Rp 1,8 triliun. Ketidaktegasan Bank Indonesia membuat kasus Bank Century bertambah besar sehingga biaya penyelamatan yang harus ditanggung LPS mencapai Rp 6,7 triliun. Prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank sering digunakan sebagai dalil untuk menutupi ketakutan dan kelemahan tersebut.
Kelemahan penindakan hukum sudah lama menjadi budaya hukum di Indonesia, sehingga bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang hanya pandai membuat undang-undang atau peraturan tetapi lemah dalam implimentasi dan penegakan hukumnya. Penegakan hukum di masa Reformasi hingga saat ini masih banyak diwarnai oleh budaya hukum warisan Orde Baru yang bernuansa korupsi-kolusi-nepotisme serta lebih cenderung membela kepentingan elit penguasa dan pemilik modal besar. Prof. Satjipto Rahardjo SH dalam Bernard L. Tanya et.al. (2006) bahkan menyatakan penegakan hukum di masa transisi pasca Orde Baru tidak hanya dijalankan seperti rutinitas belaka (business as usual) tetapi juga dipermainkan seperti barang dagangan (business-like). Di masa kini, menurut Prof. Satjipto Rahardjo SH (2007) penegakan hukum memerlukan kualitas progresif. Kita membutuhkan penegak hukum yang berkualitas di atas rata-rata. Undang-undang hanya berbicara abstrak dan datar, baru di tangan penegak hukum itulah kekuatan hukum bisa diuji kemampuannya. Penggunaan diskresi yang bertanggung jawab juga diperlukan guna mengatasi kebuntuan dalam penegakan hukum. Guna mengatasi hambatan penegakan hukum di sektor keuangan, Pemerintah dan DPR perlu membentuk lembaga pengawas independen yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) paling lambat 31 Desember 2010 sebagaimana amanat Pasal 34 UU Bank Indonesia (UU 23/ 1999 juncto UU 3/ 2004). Pembentukan OJK akan mengambil alih fungsi pengawasan yang selama ini dijalankan BI dan Bapepam-LK.
  • KELEMAHAN ATURAN HUKUM DAN PENTINGNYA REFORMASI HUKUM ASURANSI
Kasus Bakrie Life juga memunculkan fakta adanya kelemahan dalam aturan hukum di bidang asuransi. Hal ini disebabkan UU 2/ 1992 tentang Usaha Perasuransian yang dibentuk pada masa Orde Baru belum pernah direvisi hingga saat ini, padahal UU Bank Indonesia dan UU Perbankan telah direvisi beberapa kali mengikuti perkembangan sosial-ekonomi-politik yang begitu cepat di era Reformasi.
Pada saat pengajuan RUU bidang Keuangan pada tahun 2003, Pemerintah telah menyertakan RUU Otoritas Jasa Keuangan dan RUU untuk mengamandemen undang-undang bidang jasa finansial, seperti pasar modal, asuransi, dan dana pensiun. Tetapi, yang lolos menjadi UU hanya amandemen UU BI, yaitu UU Nomor 3 Tahun 2004 dan yang lainnya sampai kini masih menyangkut di DPR. Dari segi infrastruktur, Pemerintah telah menyiapkan diri dengan memerger Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dengan Direktorat Lembaga Keuangan (DJLK) menjadi Bapepam-LK berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia.(Rijanta Triwahjana, 2008).
Kelemahan aturan dalam UU 2/ 1992 meliputi 4 (empat) hal sebagai berikut :
a) UU 2/ 1992 belum mencantumkan secara jelas peran Bapepam-LK sebagai otoritas regulator dan pengawas perusahaan asuransi di bawah kendali Menteri Keuangan.
b) UU 2/ 1992 belum mengatur tentang pemasaran produk-produk asuransi hibrida.
c) UU 2/ 1992 belum mengatur pembentukan lembaga penjamin dana nasabah asuransi.
d) UU 2/ 1992 belum mengatur peran lembaga penjamin dana nasabah asuransi dalam upaya penyelamatan maupun kepailitan/ likuidasi perusahaan asuransi.
Kelemahan pertama dapat diatasi dengan membuat UU tentang Bapepam-LK sehingga kedudukan Bapepam-LK lebih independen (tidak lagi di bawah Menteri Keuangan) sehingga kedudukannya setara dengan Bank Indonesia. DiAmerika Serikat, lembaga pengawas pasar modal dan pengawas perusahaan asuransi berdiri sendiri-sendiri dan berstatus independen karena tidak bertanggung-jawab kepada Menteri Keuangan. Kelemahan pertama ini juga dapat diatasi melalui pembentukan lembaga superbody seperti OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang independen dan bertugas mengawasi seluruh perusahaan di sektor jasa keuangan.. Pola pengawasan model OJK mirip dengan pola pengawasan yang diterapkan di Inggris.
Menurut Wulan Tunjung Palupi (2009) terdapat dua aliran pemikiran dalam bidang pengawasan sektor keuangan. Yang pertama menganut prinsip bahwa supervisi berbagai institusi keuangan dilakukan oleh beberapan lembaga yang terpisah. Yang kedua berprinsip seluruh pengawasan sektor keuangan harus ada dalam satu badan besar. Di Inggris, industri keuangan diawasai oleh Financial Supervisory Authority (FSA). Sedangkan di Amerika Serikat, industri keuangan diawasi beberapa institusi terpisah yaitu : Securities and Exchange Commission (SEC), The Fed (Bank Sentral), Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), dan Options Clearing Corporation (OCC).
Kelemahan kedua dapat diatasi dengan merevisi UU 2/ 1992 dengan memasukkan aturan pemasaran produk asuransi hibrida serta ketentuan kerjasama pemasaran produk jasa keuangan. Ketentuan semacam ini diperlukan guna menjamin adanya kepastian dan perlindungan hukum, sehingga kegiatan tersebut tidak sampai merugikan nasabah asuransi seperti pada kasus Bakrie Life. Penempatan portofolio investasi dalam asuransi unit-link juga harus diatur dan dibatasi seperti halnya ketentuan BMPK di perbankan.
Kelemahan ketiga dan keempat dapat diatasi dengan membuat aturan pembentukan lembaga penjaminan dana nasabah asuransi, yaitu lembaga yang cara kerjanya mirip LPS. Pembentukan lembaga ini dapat diatur dalam bentuk UU tersendiri, atau dalam bentuk amandemen UU 2/ 1992 tentang Usaha Perasuransian. Seperti LPS, lembaga ini sebaiknya juga diberi peran sebagai penyelamat maupun likuidator perusahaan asuransi bermasalah. Jika Pemerintah dan DPR lebih memilih opsi pembentukan OJK, maka peran lembaga ini cukup sebatas melakukan usaha penjaminan dana nasabah asuransi.
Mengingat begitu kompleksnya reformasi hukum di bidang keuangan, maka Pemerintah dan DPR sudah seharusnya segera merevisi paket RUU bidang keuangan yang sudah tertunda sejak tahun 2003. Munculnya kasus Bakrie Life, kasus Antaboga Sekuritas, dan kasus sejenis lainnya, semestinya mulai menyadarkan Pemerintah dan DPR agar tidak hanya mereformasi perbankan dan bank sentral tetapi juga mereformasi lembaga keuangan non-bank khususnya pasar modal, asuransi, dan dana pensiun.



Referensi : http://anindyaditakhoirina.wordpress.com/2012/05/07